
LAMSELNEWS.COM,
Pringsewu - Ironi dunia kerja di Indonesia kembali tersaji. Di tengah
gempuran inflasi dan naiknya harga kebutuhan pokok, PT Rama Jaya, perusahaan
peternakan ayam boiler yang banyak beroperasi di Provinsi Lampung, salah
satunya ada di Desa Tulungagung, Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu,
Provinsi Lampung, diduga dengan enteng menggaji karyawannya hanya Rp1 juta per
bulan.
Jumlah yang bahkan tidak cukup untuk menyambung hidup layak,
apalagi disebut sebagai “upah layak”.
Temuan ini terkuak dari hasil investigasi langsung tim media
ini. Fakta di lapangan mengindikasikan bahwa upah yang diterima karyawan PT
Rama Jaya bukan hanya jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung sebesar
Rp.2.893.070 tahun 2025 yang telah mengalami kenaikan 6,5% dibandingkan UMP
tahun 2024 sebesar Rp.2.716.497.
Tapi miris, hak yang terima pekerja bahkan mendekati
kategori tidak manusiawi dengan jam kerja melebihi batas ketentuan jam kerja
sesuai undang-undang.
Untuk karyawan lama yang telah mengabdi lebih dari lima
tahun, upah hanya naik tipis menjadi Rp2 juta, plus tunjangan Rp200 ribu. Tanpa
BPJS Ketenagakerjaan, tanpa perlindungan sosial. Hanya dengan janji "kalau
sakit ringan, diobati".
Bukan sekadar melanggar aturan. Ini penghinaan terhadap kaum
buruh. Bak dijaman feodalisme, neo kolonialisme!!
Padahal, UMP bukanlah angka yang bisa ditawar sesuka hati.
UMP merupakan batas minimum upah yang ditetapkan negara,
garis tipis antara hidup layak dan kemiskinan. Melanggarnya bukan sekadar
pelanggaran administratif, tapi bisa dikategorikan sebagai tindak pidana,
sesuai Pasal 185 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dengan
ancaman pidana penjara hingga 1 tahun dan/atau denda hingga Rp400 juta.
Pemberian fasilitas tempat tinggal dan makan 3 kali sehari
kerap dijadikan dalih untuk mengurangi kewajiban membayar upah layak. Namun
publik perlu tahu, tidak ada satu pun pasal dalam undang-undang yang
membolehkan fasilitas dikonversi menjadi pengganti hak normatif upah minimum,
kecuali melalui perjanjian kerja yang adil dan transparan, dalam banyak kasus
seperti ini nyaris tidak pernah ada.
Ini adalah pola klasik: mempekerjakan buruh dengan
iming-iming fasilitas, lalu membayar jauh di bawah standar. Sebuah praktik yang
jika dibiarkan, adalah bentuk perBUDAKan modern yang dibungkus dengan seragam
perusahaan.
Pertanyaan besarnya kini: dimana pengawasan pemerintah? Dimana
Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Lampung? Apakah pelanggaran seperti ini memang
sudah dianggap hal biasa, sehingga tidak lagi menggugah nurani para pejabat
pengawas?
Jika benar negara hadir untuk rakyat, maka kasus ini
seharusnya sudah menjadi perhatian utama. Jika benar hukum ditegakkan, maka
penyelidikan harus dilakukan secepatnya.
Jika tidak, maka publik akan semakin yakin bahwa buruh kecil
dibiarkan terinjak demi kenyamanan investor besar.
Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini penghinaan
terhadap martabat pekerja khususnya kaum buruh yang termarginalkan.
Informasi ini disusun berdasarkan hasil investigasi lapangan
dan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dugaan pelanggaran akan dilaporkan kepada instansi terkait
untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme hukum yang sah. (Tim/NN)